Rabu, 13 Juli 2016

Jalan Jalan ke Kebun Buah Mangunan

Berbekal aplikasi waze yg sengaja gue download buat mempermudah perjalanan -walaupun boros baterai dan boros kuota-, gue memulai trip ke Jogja, tepatnya ke daerah Dlingo, Mangunan, Bantul. Di sana ada 2 destinasi yang gue rencananya bakal kunjungi, yaitu Hutan Pinus Dlingo -mungkin lebih di kenal dengan hutan pinus imogiri- yg satu lagi Kebun Buah Mangunan. Dua destinasi itu sama-sama satu arah, jalurnya naik-naik kayak ke puncak gitu, ditambah lika-liku makin nambah greget.. gue terus ikutin palang yg ada tanda panah yang mengarah ke dua desetinasi itu. ternyata di persimpangan saat itu lumayan macet, kalo lurus itu ke arah hutan pinus, kalo belok ke kanan itu menuju ke kebun buah mangunan, akhirnya pilih ke kanan krn lebih lancar jalannya. Jalanannya berubah jadi menurun, dan nggak jauh sampe juga ke Kebun Buah Mangunan.

Setelah bayar tiket masuknya 6.000 per orang, langsung deh cari parkir. Waktu itu diinformasiin kalo di sana lagi nggak musim buah.. Jadi ya keliling-keliling aja di kebunnya..

Di sana ada petunjuk yg menulis Puncak 500m Lagi, disertai anak panah yg menunjukkan lokasinya, katanya sih orang-orang pada berburu foto di puncaknya itu. Langsung deh gue jalan dengan semangat, awalnya itu jalan aspal menurun di sampingnya masih ada pohon pohon buah yg belum berbuah.. makin jauh, makin ngeri juga sih, ada tangga turun cukup lebar yg jarak anak tangganya tinggi, apalagi kiri kanannya nggak ada pegangan, yg ada malah aliran air kali.. setelah lewatin tangga turun itu lanjut naik lagi, sampai ke puncaknya terus di suguhi undakan tangga -ada beberapa anak tangga yg tinggi- gue liat pemandangannya di ebelah kiri itu kayak jurang yg penuh pepohonan. Keren.. tapi tetep harus hati-hati..



Dan at the end sampai juga Puncak Kebun Buah Mangunan.. dari atas sini bisa ngeliat view yg bikin nagih, ijo-ijo seger gitu.. pas banget buat yg batinnya rindu sama ketenangan alam.. di sana bisa puas deh foto-foto dari ketinggian..



Senin, 04 April 2016

Ceritanya Gagal Move On

Ada yang perah ngerasain gagal move on? atau yang lagi gagal move on? Itu yang gue alamin sekarang. Mungkin ini pembahasan atau topik basi. Tapi bat gue ini penting. Bayankan betapa memalukannya gue gagal move on sama first love gue sejak lima tahun lalu. Asli ini hati keterlaluan.. Udah lima tahun masih aja melting kalo denger kabar dari dia..



Iya, ini konyol.. Gue masih sangat-sangat berharap sama first love yang udah lost contact bertahun-tahun.. Bahkan gue yakin dia pun nggak terbesit buat mikirin kabar gue di sini.. But, balik lagi move on itu masalah hati. Terlepas apakah dia itu jodoh gue ataupun bukan, gue tetap mendoakan yang terbaik untuk dia. Bukan karena perasaan cinta yant membabi buta. Tapi cinta yang dewasa, mampu mendoakan kebahagiaannya apapun jalan yang dipilihnya..

Because life must go on. Hidup gue nggak harus stuck sama satu orang yang nggak jelas kabarnya kan.. Di sekeliling gue banyak yang care dan sayang sama gue..
Kalaupun dia sama gue berjodoh ya itu memang sudah jadi skenario terbaik dari Sang Pencipta untuk menyatukan dua hati yang terpisah.. Seberapa jauh terpisah, hati akan selalu mencari rumahnya untuk pulang. Jika belum berjodoh, biarkan gue dan dirinya tetap berhubungan baik.. Entah kita akan berjumpa lagi ataupun tidak, setidaknya cerita ini akan tertulis dalam sejarah hidup gue..

Senin, 29 Juni 2015

Just a Dream



Senin 29/06/15

Di sebuah ruang tunggu aku duduk. Lima orang kawanku ada didalam ruangan, mengurusi keperluannya yang sebentar lagi akan selesai. Berseberangan dari tempat aku duduk, dua bersaudara sedang melakukan hal yang sama denganku.  Kami jelas saling mengenal, salah seorang dari mereka adalah teman lamaku, dan yang satunya adalah sepupunya.

Kami tak terlibat percakapan karena banyak yang berlalu lalang menghalangi pandangan kami. Tak lama beberapa detik berlalu dan seorang wanita paruh baya keluar dari ruangan. Aku dan teman lamaku mengenali wanita itu, guru favoritku ketika SD. Aku dan teman lamaku menyapanya, dan kemudian ia membalas dengan hangat. Wajahnya masih bersahaja seperti dulu. Dan guru itu berlalu di pintu keluar yang berada diujung lorong ruang tunggu. Kami memandangi sosoknya dari belakang yang perlahan mengecil karena menjauh dan kemudian hilang dari balik pintu keluar.

Sedetik kemudian, dari pintu itu datang seorang pria sebaya denganku dan teman lamaku. Pria itu memakai kemeja putih lengan pendek. Kemejanya ia masukkan ke dalam celana panjang bahan yang longgar. Penampilan khas dari seseorang yang sangat kukenali. Ia masih berkacamata, namun ia hadir dengan kacamata yang berbeda. Badannya tetap kurus tetapi ia bertambah tinggi. Empat tahun aku tak berjumpa dengannya. Mukanya sudah agak berbeda, telihat lebih dewasa, mencerminkan sikapnya yang juga sudah berubah. Pandangannya sedikit jenuh, menandakan banyaknya pikiran yang melandanya. Gaya berjalannya masih sama. Dan degup hati ini semakin terasa ketika ia mendekat.

Benarkah pandanganku ini? Benarkah ia hadir lagi? Ku lihat teman lamaku yang duduk diseberangku. Ia menunjukkan raut wajah yang terkejut. Aku memanggil namanya, nama dari pria berkacamata itu, yang ternyata teman lamaku pun bersamaan memanggil denganku. Dan ia menyapa dengan kata “Hello”. Pandanganku benar kala itu. Batinku menjerit histeris. Perasaanku terlampau senang mengetahui ia benar-benar kutemui lagi. Seorang yang sangat kurindukan. Ialah cinta pertamaku. Yang empat tahun tak mengabariku. Yang dibeberapa awal bulan kepergiannya pernah membuatku meneteskan air mata sebelum terlelap dalam lagu perpisahan.



Setelah lima kawanku keluar dari ruangan, kami beramai-ramai, dengan teman lamaku juga, pergi ke tepi lapangan kampus yang rindang. Dengan hadirnya ia -cinta pertamaku-, kami mengulang beberapa cerita nostalgia. Aku kembali mendapati tawa dan senyumnya yang mendamaikan, yang sempat hilang beberapa tahun terakhir. Harapanku hanya ingin hal ini bukan untuk sejenak.

Saat ia asyik dengan teman lamaku yang juga sahabat dekatnya dulu, ia mengajak untuk makan dikantin. Tetapi aku tak mengikutinya, aku malah membiarkannya berlalu begitu saja. Aku tidak mungkin mengabaikan kawanku yang lain. Kupikir ia akan pergi ke kantin untuk waktu yang tak lama. Sampai aku bosan berharap ia datang kembali ke hadapanku, aku menghubungi teman lamaku yang pergi ke kantin dengannya. Tak juga ada kabar, kakiku tergerak tak sabar ingin menemuinya lagi. Sesampai dikirku di kantin itu, tak terlihat dua orang bersahabat yang aku cari-cari. Ada di mana mereka? Kecewa kembali menikamku.

Kesadaranku terbangun oleh suara kesibukan mamaku yang berada di dapur. Ternyata aku hanya bertemu dengan orang itu dalam mimpi. Sosok itu tak sungguh hadir di hadapanku. Ia tak sungguh mengahapus kerinduan yang tak tercabut seperti ini, malah menikamku dengan kenangan, dan mengapa kita hanya dipertemukan dalam mimpi. Aku masih menunggu waktu, ketika kita akan bertemu lagi di waktu yang masih tak pasti.

Rabu, 04 Februari 2015

Hati yang Baru Untuk Merangkai Jurnal

‘Melambung jauh terbang tinggi bersama mimpi...’

Lagu yang berjudul Mimpi,  ketika pertama kali ku mendengarnya saja sudah mampu mambuat ku berangan.  Jujur saja yang ku angankan saat mendengar lagu itu bukan tentang kesuksesan karier ku, tapi malah mimpi dan angan tentang membina hubungan dengan seseorang. Tapi itu dulu, tiga tahun lalu ketika aku masih dalam masa sekolah yang labil. Mimpi untuk berdampingan dengan seseorang yang baru ku kenal. Ketika rasa itu masih indah, ketika kita masih saling peduli, tak seperti sekarang.

Lagi dan lagi, mengapa aku selalu ingin bercerita tentangnya? Apa yang akan ku mimpikan selanjutnya? Masihkah semua tentangnya akan tetap melekat dalam diri ku? Ucapanku ingin sekali mengatakan tidak untuk dirinya. Tetapi biarlah hati yang memutuskan jalannya sendiri, karena ia selalu tahu kemana seharusnya memilih. Dan hati ku menginginkan ku untuk tetap memikirkannya.

Tahun 2014 lalu telah membuatku melambung dan terhempas. Di awal tahun aku begitu di semangati olehnya. Oleh seseorang yang kemudia meninggalkan ku begitu saja di penghujung tahun itu. Aku sangat terpuruk, hati ku rasanya terpecah menjadi banyak kepingan. Kemeriahan malam tahun baru pun tak mampu meredam tangis hati ini.

Ia yang menghempaskan ku begitu saja. Jujur logika ku sangat menginginkan pembalasan. Logika ini mengajak ku untuk bangkit dan menunjukkan padanya bahwa ia akan menyesal telah pergi dari kisah ku.

Dan mimpi ku di tahun 2015 ini ialah menjadi seorang penulis terkenal. Memiliki karya yang selalu di tunggu-tunggu oleh para pembaca setia. Namun hati kecil ini masih saja mengatakan untuk menuliskan tentangnya. Masih ingin untuk bercerita tentang memori indah tentangnya. Merangkaikan kata-kata majas yang melukiskan dirinya. Dan banyak hal lain tentang aku dan dia untuk dirangkum dalam jurnal kenangan.

Sebenarnya aku sudah suka menulis sejak duduk di bangku sekolah SMP. Tapi aku hanya menulis dalam lembaran saja. Lembaran yang hingga kini tersimpan dalam sebuah buku harian yang sangat rahasia. Aku sangat suka untuk merangkai kata dalam lembaran itu, melukiskan perasaan dari suatu momen yang aku alami, dan mengabadikannya dalam kenangan. Ditambah pula kesibukan ku sebagai pelajar. Setelah selesai studi semester pertama kuliah ku ini, aku mendapat libur sekitar dua bulan lamanya. Kupikir lumayan untuk sejenak refreshing. Setelahnya aku kembali membongkar artikel lama ku, dan jiwa ku seakan kembali pada kisah lalu tersebut. Seketika inspirasi menghampiri, aku ingin kembali pada kegiatan ini, hati ku ingin kembali merangkai kata yang menjadikannya cerita indah.

Kini aku sudah mulai mempublikasikan tulisan-tulisan ku melalui blog yang ku buat khusus. Dan akhir-akhir ini aku mulai aktif mengikuti lomba menulis online. Dan mimpi terbesar ku ialah menerbitkan sebuah novel. Aku telah menuliskan sebuah cerita tentangnya. Aku ingin menuliskan tentang kisah aku dengannya, mengabadikannya dalam sebuah buku yang di baca banyak insan. Menuliskan perjalanan kisah kita. Mengabadikan dirinya dalam kenangan ku. Perlahan aku mengetikkan kata yang bersusun menjadi paragraf. Masih belasan halaman yang sudah ku kerjakan, tapi aku akan terus berusaha menyelesaikannya secepat yang aku bisa.

Hingga aku tak lagi punya alasan untuk sebuah pembalasan dalam menggapai mimpi ku. Semua ini untuknya. Semua ini karena suatu nama yang disebut cinta. Aku masih mencintainya. Dan aku ingin merangkai setiap momen itu dalam jurnal. Menyimpannya untuk hati ini. Dan ketika suatu saat aku telah benar-benar melupakannya, aku ingin membongkar memori dalam setiap jurnal yang selalu bercerita tentangnya, tentang kisah kita dulu. Aku berharap kisah ini bisa abadi walau hanya dalam rangakaian kata yang tak hadir nyata.


Anganku masih mendapati dirinya yang menyemangatiku. Ia masih mengalir melalui kata-kata yang ku ketik, merangkai jurnal yang bercerita tentangnya, membentuk sebuah karya tulisan yang selalu ku kagumi. Senantiasa aku berharap untuk bisa mewujudkan sebuah novel yang bertuliskan nama ku sebagai penulisnya, dan melihat novel itu berada di jejeran rak buku yang berlabel ‘Best Seller’. Semoga itu akan segera terwujud beberapa bulan ke depan. Karena dalam cinta yang kuat, semua akan tak mengecewakan, dan akan menemui akhir yang indah. Aku percaya mimpi ku. Inilah mimpi ku. Mimpi seorang mahasiswa yang sambil bekerja di sebuah usaha pendidikan non-formal yang gemar menulis rangkaian kisah.



Kamis, 29 Januari 2015

Di mana Tamu Senja ku ?

Cahaya jingga yang terang menerobos kaca jendela kamar tidur ku. Ia dengan hangatnya menerangi ruangan yang sedang ku diami. Senja kembali menemaniku, memutar kembali memori lampau yang sudah ku rindukan. Mentari akan kembali sembunyi untuk mengantar malam menemui langit.  Semua kanangan senja masih melekat dalam sunyi ini. Senja yang dulu, ketika seseorang masih bersama ku. Menghabiskan waktu senja bersama diselingin hangat canda. Seorang yang seakan begitu ku kenal, walau aku baru berusaha mengenalnya. Orang itu mengubah semua isi relung hati. Ku pikir ia sangat sederhana, sesederhana caranya yang menghiasi kebersamaan menjadi lebih berkesan. Tatapan teduh dan senyum bisunya selalu mengantarku pada angan masa depan. Bahkan semua yang ada pada dirinya telah terpaku pada memori ku.

Mungkin itu lah cinta. Tentang segala memori yang melakat erat dalam kehidupan kita. Tentang fisik yang selalu berusaha mendekatinya, tentang pikiran yang selalu mengangankan bersamanya, tentang hati yang selalu damai di dekatnya, juga tentang ucapan yang selalu berdoa menyebut namanya.

Di suatu malam, ku menerima sebuah pesan singkat di ponsel ku. Orang itu kembali membuat ku membisu tapi sebenarnya hati ku berteriak girang. Ku dapati senyum ini mengartikan kebahagiaan. Dan kembali aku mendapati satu kata yang selalu aku tak mengerti. Cinta. Ya, cinta kembali mendesir bersama angin malam. Membelai jiwa ku lembut dan membuat perasaan ini tak terisi hampa. Aku bahagia ketika orang itu membuat ku berarti di kehidupannya. Cinta memang begitu, tentang perasaan dua insan yang saling mengasihi.

Tapi aku tahu bahwa semua tidak ada yang kekal. Ketika kebersamaan yang hangat itu telah redup, dan aku masih saja melekatkan pikiran ku padanya.  Walau raga sudah tak bersama, ataupun status yang membuat jarak antara dua orang, cinta masih mempengaruhi hati dan pikiran kita.

Aku yang masih bahagia ketika hanya bertemu dengannya. Masih bahagia ketika hanya mendengar namanya di sebut dan bergema di hati ku. Juga yang masih tersenyum ketika hanya mengetahui bahwa ia bahagia dengan keadaannya sekarang, walau ia tak lagi bersama ku.

Cinta yang kurasakan bukan tentang perasaan ingin memiliki yang mengarah pada egoisme. Aku tetap merasakannya walau ia bukan milikku. Karena cinta itu tentang memberi kebahagiaan. Ia tidak tumbuh dengan paksaan. Seperti aku yang memberinya kesempatan untuk memilih kebahagiaannya sendiri walau akhirnya ia mengabaikan ku. Aku senang ketika ia juga senang. Kita mungkin ditakdirkan untuk memiliki kebahagiaan masing-masing, tanpa perlu hidup bersama. Adakalanya takdir tak bisa mempersatukan orang-orang yang saling memiliki cinta, tapi cinta selalu mempertemukan oraang-orang yang terpisah jarak seklipun.

Ada yang mengatakan, terkadang ada orang-orang yang di takdirkan hanya untuk hadir dalam kenangan saja, dan dia akan berdiam di hati kita, bukan untuk hadir di kehidupan kita. Cinta juga bisa begitu, bukan hanya tentang orang yang nyata bersama kita, namun juga termasuk orang-orang yang hanya sebagai kenangan.


Aku sadar, kini tamu senja ku hanyalah kenangan semata. Yang hanya tersimpan dalam memori ku saja. Tapi aku tetap mencintainya. Jika aku membongkar memori itu, rasanya tak ku dapati pudar. Rasa itu tetap sama, seperti kebersamaan dulu. Karena setiap orang adalah cerita dari setiap orang, dan tamu senja ku adalah cerita cinta ku.


<a href=”https://rhyantd.files.wordpress.com/2015/01/ungu3-copy-copy.jpg”><img class=”aligncenter  wp-image-4793″ src=”https://rhyantd.files.wordpress.com/2015/01/ungu3-copy-copy.jpg?w=636&#8243; alt=”ungu3 copy copy” width=”463″ height=”281″ /></a>
ungu3 copy copy




Sang Perindu Mu



Permasalahan orang dewasa selalu saja terlihat rumit. Aku sungguh membencinya. Ketika ini aku hanya mampu membongkar imaji ku tentang memori lampau. Ketika aku masih bersekolah, di mana masa tersulit hanya lah tugas mandiri dan ujian sekolah, tanpa memikirkan cinta yang serius. Tapi kalau berbincang cinta tak akan habisnya.

Masih meragukan jika ada yang mempertanyakan kapankah cinta pertama ku. Yang ku alami hanyalah sebatas rasa damai atas pandangan ku yang terpaku pada seseorang. Aku mengalaminya ketika aku duduk di bangku kelas 3 SMP.

Kami sama-sama mengaku teman biasa pada awalnya. Tapi aku selalu merasa ada yang berbeda ketika ia menatap ku. Pandangannya terasa sangat teduh bagi ku. Tiap kali pandangan kami saling menangkap, aku merasa berat untuk mengalihkannya. Aku sering mendapati pandangannya selalu mengarah pada ku ketika proses belajar mengajar di dalam kelas berlangsung. Entah aku yang merasa terlalu percaya diri. Tapi bahkan guru ku pun ada yang memperhatikan tingkahnya. Pernah sekali ia di tegur oleh guru ku karena memandangku terus menerus. Aku memperlihatkan tingkah kesal di depannya, aku kesal karena yang ia lihat adalah aku sehingga nama ku di sebut oleh guru ku. Seisi kelas reflek bersorak mengejek kami. Tapi rasanya jiwa  ini ku dapati tengah tersenyum.

Lagi di waktu yang lain, ketika jam istirahat sekolah, ku dapati ia selalu menghampiri seorang temannya yang duduk tepat di belakangku. Ia sangat suka untuk menghampiri dan berdiam di tempat itu selama waktu istirahat, bahkan ketika pergantian jam pelajaran pun ia suka menghampiri tempat di belakang ku itu. Entah ada magnet yang menariknya ke sana atau apalah. Yang ia lakukan bukan sekedar berbincang dengan temannya, tapi ia juga sering bersandar pada kursi yang ku duduki. Terkadang aku sedang duduk diam mengarah ke depan, ketika itu ia bersandar di belakang ku. Punggung kami saling melekat. Aku hanya terdiam merasakan sentuhannya. Aku merasakan ikatan kami begitu kuat. Namun tak ada perkataan apa pun yang terlontar darinya untuk ku. Sambil terus bergurau dengan temannya ia mendiamkan ku seperti itu. Ia seperti memberi ku harap.

Akhirnya rasa ku terjatuh. Jatuh pada sebuah perasaan bernama cinta. Mungkin. Kudapati mata ini sering mencari sosoknya yang mengagumkan itu. Sosok berkacamata dengan pandangan teduhnya dan senyum bisunya yang mengisyaratkan banyak rasa ketika melihat ku. Ia masih dengan kebiasaannya menghampiri teman yang duduk di belakang ku, tapi kami mulai sering bergurau bersama. Ia mengajak ku untuk bergabung dengan obrolan mereka. Ketika ia bercerita, aku selalu kagum atas apa yang dikatakan, walau aku tak menyukai topik pembicaraannya. Dari ceritanya, ia banyak mengajari ku menghadapi kehidupan setelah dewasa nanti. Ia seorang yang aneh. Terkadang ia sangat jenius, terkadang juga tingkahnya sangat bodoh. Tapi ku rasa juga aku sering bertingkah bodoh di hadapannya. Yang ku kenal adalah ia seorang yang berpendirian teguh atas adatnya sendiri, ia sangat gemar akan teknologi juga politik-ekonomi global.

Hingga akhirnya beberapa bulan menjelang ujian akhir, aku mendapati kabar bahwa ia akan pindah ke luar kota. Tak bisa yang aku lakukan untuk mencegahnya pergi jauh. Pertama kalinya ku dapati aku begitu kehilangan sosok yang berharga walau sebenarnya ia belum pergi. Ketika itu pun kami hanya sebatas teman di mana aku mempunyai rasa lebih untuknya dan mungkin ia juga. Tapi aku selalu menyimpan rahasia ini darinya. Tak ada dari kami yang mau membongkar.  Aku selalu berdoa untuk tetap bisa bertemu dengannya suatu saat nanti. Dalam doa ku namanya ku sebut. Sungguh aku sangat kehilangan, mengapa ketika aku baru merasakan indahnya cinta, ia seenaknya pergi begitu saja?

Hanya setahun aku sekelas dengannya di SMP sebelum ia benar-benar pergi dari pandangan ku. Sekarang ia sangat tak terjangkau, tapi namanya masih sering ku sebut dalam hati. Cukup dalam hati. Yang sangat konyol adalah aku sampai menangis sebelum lelap dalam hampa yang kelam di sebuah malam di temani bulan. Aku memutar lagu yang liriknya berisi rindu seseorang, aku membayangkan wajahnya yang masih jelas terlukis dalam pejaman mataku. Itu adalah ketika setengah tahun ia pergi dari ku. Aku masih sangat memikirkannya. Jujur sampai kini pun juga. Saat aku mengingatnya, jantung ini masih berdetak sama ketika bersandar dengannya dulu. Empat tahun berlalu dengan memori tentangnya yang utuh mendampingi ku. Aku membiarkan rasa ini di tikam oleh jarak dan waktu yang terus berusaha menggerus, namun rasa ini masih kuat seperti awalnya. Walau aku sempat beberapa kali jatuh hati pada yang lain.

Satu yang ku masih harap darinya, aku ingin bisa bertemu dengannya kembali. Bersama membongkar memori.


Setiap orang adalah bagian dari cerita setiap orang. Dan ini ceritanya dari bagian cerita ku. Cerita cinta pertama ku.






Rabu, 20 Agustus 2014

Will We Can Never Get Back?

“Selfie dulu yuuk.” Aku berseru di tengah tiga teman ku yang sudah lelah bersandar di tembok teras sekolah. 

Sudah lama kami berdiri di lapangan untuk melakukan gladi bersih untuk pelepasan. Kami kembali ke sekolah mengenakan seragam setelah kelulusan. Tapi aku masih bersemangat, karena sekolah ini berhasil membuat ku membongkar sepenggal memori. Melihat lagi gedung yang pernah aku masuki. Berada di lapangan sekolah yang setiap pagi selalu aku berdiri di sana. Melihat ke dalam ruang kelas yang lengang tanpa penghuni, yang masih berisi bangku-bangku yang pernah ku duduki dan papan tulis yang sudah bersih tanpa coretan.


Semua benda itu menghadirkan ilusi, membayangkan aku pernah menempati salah satu bangku di pojok depan ruang kelas. Hadir pula teman dekat ku yang selalu ikut membuat kumpulan di pojok kelas ini. Melontarkan lelucon apa saja yang dapat dibahas. Terkadang membahas pelajaran yang serius. Bahkan membahas rencana untuk mengerjai seseorang.

Ilusi itu lenyap ketika dua temanku yang ikut semangat ketika aku mengajaknya berfoto. Tapi tidak dengan satu teman laki-laki ku yang memang selalu menjalani hidup seadanya, tanpa semangat. Aku tak tahu apa yang membuatnya bisa selalu terlihat letih setiap saat.
Sebuah gambar telah terambil oleh kamera depan ponselku, berisi dua perempuan yang menjalin persahabatan tiga tahun lalu. Tak puas, kami melanjutkan hingga beberapa kali dengan gaya yang berbeda tapi masih dalam posisi duduk. Aku memandang satu teman laki-laki ku. Segera aku berpindah posisi mendekatinya, juga mengarahkan ponselku menghadap kami berdua. Mengabadikan kebersamaan ini dalam sebuah gambar yang oleh waktu akan jadi sebuah kenangan. Selalu ada senyum yang terukir di foto itu. Senyum pertemanan yang tulus.


Rasanya aku ingin waktu ini abadi tanpa ada perpisahan apapun. Aku telah lelah selalu menemui satu hal yang disebut perpisahan. Lelah menjalin kembali kedekatan dengan banyak orang dan kembali harus berpisah ketika banyak kejadian yang telah tercipta. Dan kejadian itu hanya akan jadi kengangan. Akan tertutup debu waktu, yang entah nanti akan teringat lagi atau tidak. Aku takut untuk kebersamaan ini. Karena apapun tak ada yang abadi.